Senin, 09 Juni 2025

(artikel) Merantau Tak Sekadar Pergi: Sejarah Migrasi Orang Minang dan Pengaruhnya di Tanah Rantau

 

Merantau Tak Sekadar Pergi: Sejarah Migrasi Orang Minang dan Pengaruhnya di Tanah Rantau

Niken Amanda Putri1(*)

1Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

(*)amandaniken3@gmail.com

 

ABSTRACT

 

This article examines the tradition of migration in Minangkabau culture, which is a cultural heritage that has strategic and systemic meaning. Migration is not only a physical movement, but also a cultural process that is passed down from generation to generation and is closely related to the matrilineal system that limits land ownership for men. Internal factors, such as the matrilineal inheritance system and cultural values ​​that place men as seekers of a livelihood outside the village, as well as external factors such as colonialism and economic development, encourage the tradition of migration. In addition to being a mechanism for economic adaptation, migration also enriches social networks, strengthens cultural identity, and contributes to social, cultural development, and the role of Minangkabau society in the Indonesian national context.

 

Keyword :  Migration, Minangkabau, culture, matrilineal system, cultural migration, diaspora, cultural identity.


 ABSTRAK

        Artikel ini mengkaji tradisi merantau dalam budaya Minangkabau yang merupakan warisan budaya yang memiliki makna strategis dan sistemik. Merantau bukan hanya perpindahan secara fisik, tetapi juga sebagai proses budaya yang diwariskan secara turun-temurun dan berkaitan erat dengan sistem matrilineal yang membatasi kepemilikan tanah bagi laki-laki. Faktor internal, seperti sistem pewarisan matrilineal dan nilai budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pencari penghidupan di luar kampung, serta faktor eksternal seperti kolonialisme dan perkembangan ekonomi, mendorong terjadinya tradisi merantau. Selain sebagai mekanisme adaptasi ekonomi, merantau juga memperkaya jejaring sosial, memperkuat identitas budaya, dan berkontribusi terhadap perkembangan sosial, budaya, serta peran masyarakat Minangkabau dalam konteks nasional Indonesia.
 
Kata Kunci : Merantau, Minangkabau, budaya, sistem matrilineal, migrasi budaya, diaspora, identitas budaya.



PENDAHULUAN
        Budaya Minangkabau merupakan salah satu budaya yang paling unik di Indonesia, terutama karena sistem sosialnya yang matrilineal. Sistem matrilineal ini menempatkan garis keturunan dan pewarisan harta melalui pihak ibu, sehingga perempuan menjadi pusat dalam struktur keluarga dan masyarakat. Dalam sistem ini, harta warisan seperti tanah ulayat dan rumah gadang tidak diwariskan kepada anak laki-laki, melainkan kepada perempuan, khususnya anak perempuan tertua dalam keluarga (Nagata, 1984). Kondisi ini menyebabkan laki-laki Minangkabau harus mencari nafkah dan keberhasilan hidupnya di luar lingkungan keluarga asal, yang dikenal sebagai tradisi merantau.

Merantau adalah tradisi yang telah mengakar dalam budaya masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Tradisi ini memiliki makna yang dalam dan kompleks, melampaui sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Merantau merupakan proses pembelajaran yang memungkinkan individu untuk mengeksplorasi dunia luar, memperluas wawasan, dan mencari jati diri. Dalam konteks ini, merantau menjadi sarana untuk mengembangkan potensi diri dan meningkatkan taraf hidup, baik secara ekonomi maupun sosial.

Sejak zaman dahulu, orang Minang dikenal sebagai pelaut dan pedagang ulung. Mereka berani meninggalkan kampung halaman untuk mencari peluang di daerah lain, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini tidak hanya dipicu oleh kebutuhan ekonomi, tetapi juga oleh dorongan untuk belajar dan beradaptasi dengan budaya baru. Menurut Naim (1984), "merantau adalah cara orang Minang untuk memperluas wawasan dan meningkatkan taraf hidup" (Naim, 1984). Pernyataan ini menegaskan bahwa merantau bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang memperkaya pengalaman hidup.

Proses merantau sering kali dimulai dengan ritual yang melibatkan keluarga dan masyarakat. Sebelum berangkat, seorang perantau biasanya akan mendapatkan restu dari orang tua dan kerabat. Ini menunjukkan bahwa merantau bukanlah keputusan yang diambil secara sembarangan, melainkan merupakan langkah yang dipertimbangkan dengan matang. Dalam perjalanan mereka, para perantau akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru hingga menghadapi stigma sosial. Namun, semua pengalaman ini menjadi bagian dari proses pembelajaran yang berharga.

Merantau merupakan salah satu tradisi paling menonjol dalam budaya Minangkabau. Merantau bukan sekadar perpindahan fisik dari kampung halaman ke daerah lain, melainkan sebuah proses budaya yang berakar dalam nilai-nilai sosial dan adat Minangkabau. Laki-laki Minang didorong untuk meninggalkan rumah dan mencari pengalaman hidup, ilmu pengetahuan, dan keberhasilan di rantau demi mendukung kelangsungan hidup keluarga dan masyarakat. Filosofi merantau ini tertanam dalam pepatah Minangkabau yang berbunyi, “Merantau ka hulu, pamali pulang pangkuan,” yang artinya laki-laki yang merantau diharapkan kembali ke kampung halaman dengan membawa kehormatan dan keberhasilan (Navis, 1984).

Tradisi merantau orang Minang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-7. Namun, Sejak abad ke-14, banyak orang Minang yang merantau secara besar-besaran ke pesisir Timur Sumatera dan bahkan Negeri Sembilan di Malaysia. Dorongan untuk merantau memiliki berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Secara internal, sistem matrilineal menyebabkan keterbatasan kepemilikan lahan bagi laki-laki, sehingga mereka harus mencari nafkah di tempat lain. Selain itu, nilai budaya Minangkabau yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pelindung keluarga menuntut mereka untuk mandiri dan berani mengambil risiko di perantauan (Abdullah, 1971). Faktor eksternal berupa perkembangan ekonomi dan politik juga turut mempengaruhi gelombang migrasi. Pada masa kolonial, Belanda memperluas pengaruhnya di wilayah Sumatera dan membuka peluang baru di kota-kota pelabuhan yang berkembang pesat, sehingga orang Minang memanfaatkan kesempatan ini untuk berdagang dan bekerja di rantau (Kato, 2005).

Peran orang Minang di rantau sangat menonjol, terutama dalam bidang perdagangan, pendidikan, dan politik. Mereka dikenal sebagai pedagang ulung dan pengusaha yang berhasil mendirikan rumah makan Padang yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan bahkan di luar negeri (Pramono, 2009). Di bidang pendidikan dan pergerakan nasional, orang Minang juga banyak yang berperan sebagai tokoh intelektual dan aktivis. Contoh paling terkenal adalah Mohammad Hatta, salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia, yang lahir dari tradisi merantau Minangkabau. Selain itu, tokoh-tokoh seperti Tan Malaka dan Sutan Sjahrir juga merupakan representasi dari bagaimana tradisi merantau membentuk jiwa nasionalisme dan perjuangan (Abdullah, 1971).

Menurut Kato (2005), “merantau bukanlah sekadar perpindahan geografis, tetapi sebuah strategi budaya yang diwariskan turun-temurun.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa merantau merupakan mekanisme adaptasi dan pelestarian budaya sekaligus. Dalam kehidupan perantauan, orang Minang tetap menjaga adat dan tradisi mereka melalui berbagai organisasi kedaerahan dan lembaga sosial seperti surau dan rumah makan Padang, yang menjadi pusat komunikasi dan pemeliharaan identitas budaya (Navis, 1984). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara fisik berjauhan dari kampung halaman, mereka tetap merasa terikat kuat dengan akar budaya dan sosialnya.

Migrasi ini juga membawa dampak positif bagi daerah rantau dan bagi perkembangan bangsa Indonesia secara umum. Jaringan diaspora Minangkabau membantu menyebarkan nilai-nilai budaya, agama Islam, dan memperkuat perdagangan serta hubungan sosial antarwilayah. Oleh karena itu, merantau bukan sekadar strategi individu untuk bertahan hidup, tetapi juga bentuk kontribusi sosial dan budaya yang penting bagi masyarakat Minangkabau dan Indonesia (Dobbin, 1983).

Dengan demikian, tradisi merantau mencerminkan sebuah pola migrasi yang bukan hanya sekadar perpindahan ruang dan waktu, tetapi juga perpindahan nilai, identitas, dan jaringan sosial yang sangat berpengaruh dalam sejarah sosial budaya Minangkabau serta kontribusinya dalam sejarah nasional Indonesia.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi literatur. Data dikumpulkan melalui analisis dokumen dan literatur ilmiah, termasuk artikel jurnal, buku sejarah, dan laporan penelitian terkait migrasi orang Minangkabau. Data dan informasi mengenai merantau ini juga diperoleh dari berbagai sumber seperti monograf, buku, serta artikel di situs web dan blog.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa merantau dalam masyarakat Minangkabau bukan hanya migrasi ekonomi, melainkan bagian dari sistem budaya yang berakar pada struktur matrilineal. Karena laki-laki tidak mewarisi harta pusaka, mereka terdorong secara adat untuk mencari pengalaman dan penghidupan di luar kampung halaman. Hal ini membentuk tradisi merantau sebagai norma sosial yang mengakar kuat. Sejak abad ke-7, orang Minang telah bermigrasi ke berbagai wilayah seperti Riau, Jambi, dan Semenanjung Malaya.

Kontribusi masyarakat Minang di rantau tidak bisa diabaikan. Dalam bidang ekonomi, misalnya, para perantau Minang mendirikan usaha dagang dan rumah makan yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Bahkan, warung atau restoran Padang menjadi ikon kuliner nasional yang memperkuat kehadiran identitas Minang di berbagai daerah. Dalam bidang pendidikan dan pergerakan intelektual, orang Minang juga dikenal unggul. Banyak tokoh nasional berasal dari komunitas perantau Minang, seperti Mohammad Hatta, yang memainkan peran sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di tanah rantau, mereka tetap menjaga identitas budaya melalui organisasi kedaerahan dan hubungan yang erat dengan kampung asal. Seperti dikemukakan Navis (1984), merantau tidak menghilangkan jati diri, tetapi justru memperluas ruang eksistensi budaya Minang. Oleh karena itu, merantau adalah strategi budaya yang berfungsi membentuk identitas, memperluas jaringan sosial, dan mendorong mobilitas sosial masyarakat Minangkabau.


PEMBAHASAN

        Budaya Minangkabau menempati posisi istimewa dalam khazanah budaya Nusantara, bukan hanya karena keunikannya yang matrilineal, tetapi juga karena sistem sosial dan nilai-nilai yang terinternalisasi dalam praktik hidup sehari-hari masyarakatnya. Sistem matrilineal Minangkabau—yang menetapkan garis keturunan serta pewarisan harta melalui ibu—menempatkan perempuan sebagai pusat struktur keluarga, dengan harta warisan utama seperti tanah ulayat dan rumah gadang diwariskan kepada anak perempuan tertua (Nagata, 1984). Dalam konteks ini, laki-laki tidak mewarisi kepemilikan, tetapi justru dibentuk sebagai agen eksternal keluarga yang bertugas mencari penghidupan dan kehormatan di luar nagari. Fenomena inilah yang menjadi dasar filosofi merantau.

Tradisi merantau bukan sekadar mekanisme adaptasi ekonomi, tetapi merupakan bagian dari sistem nilai budaya yang kompleks. Ia mencerminkan cara masyarakat Minang mentransformasikan potensi sosial menjadi kapital budaya dan ekonomi. Menurut Naim (1984), merantau adalah sebuah ekspresi budaya yang sarat dengan makna sosial, spiritual, dan eksistensial. Para pemuda Minang diajarkan sejak dini untuk tidak hanya hidup bergantung kepada keluarga atau kampung halaman, melainkan berani menempuh dunia luar, dengan harapan kembali membawa "nama baik", ilmu, dan rezeki. Hal ini diperkuat dalam pepatah adat: “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun; marantau bujang dahulu, di kampuang baguno balun”, yang menekankan bahwa laki-laki ideal Minang adalah yang telah melewati proses merantau sebagai bentuk pendewasaan dan pembuktian diri.

Proses merantau, yang telah berlangsung sejak abad ke-7 dan meluas pada abad ke-14 ke daerah pesisir Sumatera dan Negeri Sembilan di Malaysia, tidak lahir dalam ruang hampa. Ia dipicu oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Secara internal, sistem pewarisan matrilineal menyebabkan terbatasnya ruang ekonomi bagi laki-laki. Mereka tidak memiliki klaim atas tanah ulayat sehingga harus mencari ruang ekonomi di luar nagari (Abdullah, 1971). Faktor eksternal yang memengaruhi di antaranya adalah kolonialisme Belanda, industrialisasi perkotaan, dan pembukaan jalur dagang yang menciptakan peluang baru di luar Sumatera Barat (Kato, 2005).

Hal ini menempatkan merantau sebagai semacam “institusi sosial” yang memungkinkan masyarakat Minang mempertahankan martabat dan mobilitas sosial mereka di tengah perubahan zaman. Seperti yang dikemukakan oleh Kato (2005), “merantau bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan strategi budaya yang diwariskan lintas generasi.” Dalam praktiknya, merantau tidak hanya membentuk pengalaman ekonomi, tetapi juga memperkaya interaksi sosial, memperluas jejaring diaspora, dan menciptakan ruang transformasi identitas.

Dampak dari tradisi merantau sangat terasa di wilayah rantau, terutama dalam sektor ekonomi, pendidikan, dan politik. Di bidang ekonomi, para perantau Minang dikenal sebagai pelaku usaha tangguh. Mereka mendirikan jaringan rumah makan Padang yang bukan hanya menjadi simbol kuliner Indonesia di luar negeri, tetapi juga menjadi wadah ekonomi kolektif yang memperkuat identitas kultural (Pramono, 2009). Dalam bidang politik dan pendidikan, banyak tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Buya Hamka merupakan produk dari tradisi merantau yang menanamkan nilai intelektualisme, kemandirian, dan kepekaan sosial yang tinggi (Abdullah, 1971).

Dalam diaspora, perantau Minang juga berhasil membentuk komunitas-komunitas yang mempertahankan adat dan norma budaya asalnya. Organisasi kedaerahan seperti Ikatan Keluarga Minang (IKM), serta fungsi sosial surau dan rumah makan sebagai pusat komunitas, menunjukkan bahwa meski secara geografis jauh dari kampung halaman, keterikatan identitas tetap kuat. Hal ini membuktikan bahwa perantauan tidak memutuskan akar budaya, tetapi justru memperluas jejaring nilai Minangkabau ke berbagai wilayah, bahkan melampaui batas negara. Dobbin (1983) menyatakan bahwa diaspora Minang telah memainkan peran penting dalam menyebarkan nilai-nilai keislaman, budaya adat, dan pola pikir egaliter ke wilayah luar Sumatera Barat.

Merantau juga berperan dalam membentuk struktur sosial baru yang lebih terbuka terhadap perubahan. Di perantauan, sistem matrilineal mengalami pergeseran fungsional karena tuntutan lingkungan sosial yang berbeda. Meski demikian, nilai-nilai kekerabatan dan gotong royong tetap dijaga, misalnya melalui pengiriman uang ke kampung halaman, pembangunan fasilitas umum, serta pelestarian adat dalam upacara pernikahan atau kematian (Navis, 1984). Ini menunjukkan bahwa identitas budaya Minang bersifat lentur dan adaptif, mampu berdialog dengan lingkungan baru tanpa kehilangan esensinya.

Dengan demikian, tradisi merantau tidak hanya mencerminkan dinamika migrasi etnis, tetapi juga menunjukkan bagaimana budaya mampu menjadi modal sosial, ekonomi, dan simbolik dalam membangun jejaring antarwilayah dan memperkuat keutuhan identitas. Tradisi ini menegaskan bahwa masyarakat Minangkabau telah lama mengembangkan mekanisme mobilitas yang berkelanjutan dan responsif terhadap perubahan zaman, sekaligus berperan dalam pembangunan nasional secara historis dan struktural.

 

 KESIMPULAN

Merantau adalah warisan budaya masyarakat Minangkabau yang memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar perpindahan tempat. Tradisi ini berfungsi sebagai strategi budaya dan sosial yang memadukan aspek ekonomi, identitas, dan jejaring sosial. Sistem matrilineal serta nilai adat dan budaya yang mengajarkan keberanian dan kemandirian menjadi pendorong utama terjadinya merantau. Praktik ini tidak hanya memacu pertumbuhan ekonomi individu dan keluarga, tetapi juga mempererat hubungan sosial dan memperkaya identitas budaya Minangkabau secara global. Dengan demikian, merantau merupakan bagian integral dari adaptasi budaya yang memberikan andil besar dalam sejarah sosial dan peranan masyarakat Minangkabau di tingkat nasional Indonesia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, T. (1971). Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927–1933). Ithaca: Cornell University.

Dobbin, C. (1983). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. London: Curzon Press.

Kato, T. (2005). Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nagata, J. (1984). The Reflowering of Malaysian Islam: Modern Religious Radicals and Their Roots. Vancouver: University of British Columbia Press.

Naim, M. (1984). Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Jakarta: Gadjah Mada University Press.

Navis, A.A. (1984). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Gramedia.

Pramono, B. (2009). Merantau ke Kota: Tradisi dan Transformasi dalam Budaya Minangkabau. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rama, D. (2020). Diaspora Minangkabau dan Pulang Basamo: Konstruksi Identitas Budaya di Tanah Rantau. Padang: Andalas University Press.

Wulandari, P. W., Widihastuti, S., & Nurhayati, I. (2018). “Usaha Perantau Minangkabau di Yogyakarta dalam Membina Hubungan dengan Kerabat Asal.” Jurnal Civics, 15(1).

Sampah Menggila, Aia Dingin Butuh Solusi Nyata

 15 Mei 2025

OPINI

(berita terkait kuliah umum) Dubes RI Ajak Mahasiswa Bangun Jejaring Global Pada Kuliah Umum FIS UNP

 


Padang – Di tengah dinamika dunia yang terus berubah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang (FIS UNP) menyelenggarakan kuliah umum pada Jumat (9/5/2025) yang bertajuk "Membangun Jaringan Internasional Generasi Muda", kegiatan ini menghadirkan Duta Besar Republik Indonesia untuk Ethiopia, Djibouti, dan Uni Afrika, Al Busyra Basnur, S.H., LL.M., sebagai pembicara utama.

Acara yang berlangsung di Laboratorium FIS UNP Lantai 4 ini dihadiri oleh mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah serta civitas akademika, termasuk Dekan FIS UNP, Arfiva Khaidir, S.H., M.Hum., MAPA., Ph.D, Ketua Departemen Sejarah Dr. Aisiah, M.Pd, serta dimoderatori oleh Rini Afriani, M.Pd.

Dalam penyampaiannya, Al Busyra menekankan bahwa jaringan internasional saat ini bukan lagi sebatas pelengkap, melainkan menjadi kebutuhan utama bagi siapa saja yang ingin maju. “Di masa depan, tidak akan ada profesi yang tidak terhubung dengan dunia global. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk membangun networking sejak dini,” tegasnya.

Ia mengungkapkan bahwa mahasiswa mempunyai peluang besar untuk menciptakan jaringan global melalui diskusi, media sosial, kegiatan publik, hingga relasi yang secara aktif diciptakan. Untuk menunjang itu, menurut Al Busyra, seseorang perlu memiliki empat modal penting yaitu komitmen, kemampuan bahasa asing, perangkat teknologi, dan keterampilan mengelola media sosial.

Selain membahas pentingnya jaringan internasional, Al Busyra juga menyampaikan wawasan geopolitik dan diplomasi, termasuk hubungan bilateral Indonesia dengan Ethiopia yang telah terjalin sejak tahun 1961. Ia menyinggung pula isu strategis seperti konflik terkait sumber daya listrik antara Ethiopia dan Mesir yang menggambarkan kompleksitas hubungan internasional.

Mahasiswa terlihat antusias selama kuliah umum berlangsung. Beberapa peserta mengajukan pertanyaan dan berdiskusi langsung dengan narasumber, memperlihatkan semangat untuk memahami dunia global yang semakin terintegrasi. Dengan terselenggaranya acara ini, UNP berharap mahasiswa memiliki perspektif yang lebih luas dan siap menjadi generasi yang mampu berkontribusi di kancah internasional.

 

 

Unsur

Keterangan

What (Apa)   

Kuliah umum bertajuk “Membangun Jaringan Internasional Generasi Muda”.

Who (Siapa)

Duta Besar RI untuk Ethiopia, Djibouti, dan Uni Afrika, Al Busyra Basnur, S.H., LL.M.

Peserta: Mahasiswa Pendidikan Sejarah FIS UNP dan civitas akademika (Dekan, Kadep Sejarah, Moderator).

When (Kapan)

Jumat, 9 Mei 2025

Where (Di mana)       

Laboratorium FIS UNP Lantai 4, Universitas Negeri Padang

Why (Mengapa)         

Untuk membekali mahasiswa dengan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya membangun jaringan internasional sebagai modal penting dalam menghadapi dunia kerja dan era globalisasi.

How (Bagaimana)      

Melalui pemaparan materi oleh Dubes RI, diskusi interaktif, dan penyampaian yang menjelaskan pentingnya networking, strategi membangun koneksi global, dan etika yang menyertainya.


Sabtu, 07 Juni 2025

(FEATURE ) Generasi Gelisah: Potret Gen Z di Tengah Kegaduhan Zaman

Senin pagi yang mendung di sudut kafe kecil Payakumbuh, Heru (22) duduk sambil menatap layar ponselnya. Di balik hoodie kelabu dan headphone besar yang menempel di telinga, ia tampak seperti tipikal anak muda kota masa kini selalu terhubung tapi seringkali merasa tersesat. 

“Aku sering ngerasa capek, tapi bingung juga capek kenapa,” ujarnya sambil mengaduk kopi susu yang hampir dingin. “Kadang bangun tidur aja udah cemas. Padahal nggak ada apa-apa.” 

Nanda adalah satu dari jutaan anggota generasi Z, dimana generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—yang tumbuh di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang serba cepat. Mereka lahir ketika internet mulai masuk ke rumahrumah, dan besar dalam dunia yang didefinisikan oleh media sosial, algoritma, serta tekanan akan pencapaian diri yang terus-menerus.

Tekanan Tak Kasat Mata 

Salah satu masalah paling mencolok yang dialami Gen Z saat ini adalah krisis kesehatan mental. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan berbagai survei lembaga swadaya masyarakat menunjukkan peningkatan signifikan kasus kecemasan, depresi, bahkan gangguan bipolar di kalangan remaja dan dewasa muda.

“Dulu orang tua kita mungkin stres karena beban fisik.kerja berat, ekonomi sulit. Sekarang kita stres karena beban psikis,” kata Dita Purnamasari, seorang psikolog klinis remaja dan pemuda. “Gen Z hidup di era overexposureinformasi, opini, tuntutan, semuanya masuk terus tanpa henti. Ini menciptakan tekanan luar biasa pada kejiwaan mereka. 

Di Instagram, semua orang terlihat sukses, bahagia, produktif. Tapi di balik layar, banyak anak muda yang diam-diam merasa tidak cukup. Tidak cukup pintar, tidak cukup cantik, tidak cukup sukses.

“Aku pernah bandingin hidupku sama selebgram yang seumuranku. Rasanya kayak gagal jadi manusia,” aku Apin (19), mahasiswa desain dari Padang. “Padahal ya hidup orang beda-beda, tapi susah banget buat nggak ngebandingin.”

Ketidakpastian Masa Depan 

Masalah lain yang menghantui Gen Z adalah ketidakpastian ekonomi. Meski sering dicap manja oleh generasi sebelumnya, banyak dari mereka justru menghadapi tantangan ekonomi yang tidak kalah berat. Harga rumah yang melambung, biaya pendidikan yang tinggi, serta persaingan kerja yang semakin ketat, membuat masa depan terasa kabur.

“Lulus kuliah belum tentu kerja. Dapat kerja belum tentu sesuai passion. Sesuai passion belum tentu cukup buat hidup,” keluh Nella (24), lulusan ilmu komunikasi yang kini bekerja freelance di bidang konten digital.

Belum lagi tekanan untuk selalu "berdampak", "bernilai", dan "menginspirasi" di media sosial. Seolah hidup ini harus selalu punya cerita yang bisa dipamerkan, padahal tak semua orang ingin hidup seperti itu.

“Kadang aku cuma pengin hidup tenang, kerja biasa, punya waktu buat diri sendiri. Tapi kayaknya itu nggak cukup buat dianggap sukses,” tambah Nella.

Hal ini diperparah dengan stigma yang masih melekat. Ketika Gen Z mencoba membicarakan beban mereka, tak jarang jawaban yang mereka dapatkan adalah “kamu kurang bersyukur,” atau “jaman dulu lebih susah.” Akibatnya, banyak yang memilih diam dan menumpuk semua tekanan dalam hati.

Identitas yang Terseret Arah Angin

Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, Gen Z juga menghadapi krisis identitas. Siapa mereka, di mana mereka berpijak, dan nilai apa yang mereka pegang, semuanya terus dipertanyakan. “Aku pernah ikut forum internasional secara online, dan waktu ditanya soal budaya Indonesia aku malah bingung jawab apa,” ujar Rizky (21), mahasiswa jurusan hubungan internasional. “Kita tuh tahu semua tentang budaya Korea, Amerika, tapi budaya sendiri malah samar.

Menurut sosiolog Yohana Pratiwi, ini adalah dampak dari globalisasi yang tidak diimbangi dengan penguatan identitas lokal. “Gen Z adalah warga dunia, tapi mereka juga anak bangsa. Sayangnya, pendidikan karakter dan kebudayaan lokal kita belum cukup kuat untuk membekali mereka menghadapi arus budaya asing,” katanya

Mencari Pegangan di Era Tak Pasti 

Namun bukan berarti generasi ini lemah. Justru di tengah segala tekanan dan kebingungan itu, Gen Z menunjukkan daya lenting yang luar biasa. Mereka berani bicara soal kesehatan mental, memperjuangkan isu sosial, dan berinovasi dengan teknologi yang mereka kuasai sejak kecil.

Banyak dari mereka yang kini memanfaatkan media sosial bukan sekadar untuk eksistensi, tapi juga untuk edukasi dan advokasi. Gerakan lingkungan, kesetaraan gender, hingga isu-isu lokal kini digaungkan lewat TikTok dan Instagram dengan cara yang lebih membumi dan relatable.

“Aku bikin konten soal pentingnya istirahat dan self-care. Banyak yang bilang relate banget. Kita saling nyemangatin walau cuma lewat layar,” kata Adam (20), content creator asal Jakarta. 

Mereka juga mulai mencari keseimbangan hidup lewat mindfulness, komunitas kreatif, hingga gerakan kembali ke alam. Di tengah kegaduhan digital, mereka mencoba menciptakan ruang hening untuk diri sendiri.

“Aku sekarang lebih milih offline kalau weekend. Baca buku, jalan kaki, ngobrol beneran sama orang,” kata Heru. “Nggak gampang, tapi pelan-pelan bisa bikin lebih waras.”

Di akhir wawancara, Heru tersenyum kecil. Hujan mulai turun tipis di luar jendela. Dunia memang sedang gaduh, dan generasi ini tumbuh di tengahnya. Tapi mungkin, justru karena itulah mereka belajar tentang arti keberanian, ketahanan, dan menjadi manusia di zaman yang serba berubah.



GUDANG BEKAS MINYAK DI LAMPASI TIGO NAGARI TERBAKAR MENJELANG BERBUKA PUASA

8 Maret 2025