Senin pagi yang mendung di sudut kafe kecil Payakumbuh, Heru (22) duduk sambil menatap layar ponselnya. Di balik hoodie kelabu dan headphone besar yang menempel di telinga, ia tampak seperti tipikal anak muda kota masa kini selalu terhubung tapi seringkali merasa tersesat.
“Aku sering ngerasa capek, tapi bingung juga capek kenapa,” ujarnya sambil mengaduk kopi susu yang hampir dingin. “Kadang bangun tidur aja udah cemas. Padahal nggak ada apa-apa.”
Nanda adalah satu dari jutaan anggota generasi Z, dimana generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an—yang tumbuh di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang serba cepat. Mereka lahir ketika internet mulai masuk ke rumahrumah, dan besar dalam dunia yang didefinisikan oleh media sosial, algoritma, serta tekanan akan pencapaian diri yang terus-menerus.
Tekanan Tak Kasat Mata
Salah satu masalah paling mencolok yang dialami Gen Z saat ini adalah krisis kesehatan mental. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan berbagai survei lembaga swadaya masyarakat menunjukkan peningkatan signifikan kasus kecemasan, depresi, bahkan gangguan bipolar di kalangan remaja dan dewasa muda.
“Dulu orang tua kita mungkin stres karena beban fisik.kerja berat, ekonomi sulit. Sekarang kita stres karena beban psikis,” kata Dita Purnamasari, seorang psikolog klinis remaja dan pemuda. “Gen Z hidup di era overexposureinformasi, opini, tuntutan, semuanya masuk terus tanpa henti. Ini menciptakan tekanan luar biasa pada kejiwaan mereka.
Di Instagram, semua orang terlihat sukses, bahagia, produktif. Tapi di balik layar, banyak anak muda yang diam-diam merasa tidak cukup. Tidak cukup pintar, tidak cukup cantik, tidak cukup sukses.
“Aku pernah bandingin hidupku sama selebgram yang seumuranku. Rasanya kayak gagal jadi manusia,” aku Apin (19), mahasiswa desain dari Padang. “Padahal ya hidup orang beda-beda, tapi susah banget buat nggak ngebandingin.”
Ketidakpastian Masa Depan
Masalah lain yang menghantui Gen Z adalah ketidakpastian ekonomi. Meski sering dicap manja oleh generasi sebelumnya, banyak dari mereka justru menghadapi tantangan ekonomi yang tidak kalah berat. Harga rumah yang melambung, biaya pendidikan yang tinggi, serta persaingan kerja yang semakin ketat, membuat masa depan terasa kabur.
“Lulus kuliah belum tentu kerja. Dapat kerja belum tentu sesuai passion. Sesuai passion belum tentu cukup buat hidup,” keluh Nella (24), lulusan ilmu komunikasi yang kini bekerja freelance di bidang konten digital.
Belum lagi tekanan untuk selalu "berdampak", "bernilai", dan "menginspirasi" di media sosial. Seolah hidup ini harus selalu punya cerita yang bisa dipamerkan, padahal tak semua orang ingin hidup seperti itu.
“Kadang aku cuma pengin hidup tenang, kerja biasa, punya waktu buat diri sendiri. Tapi kayaknya itu nggak cukup buat dianggap sukses,” tambah Nella.
Hal ini diperparah dengan stigma yang masih melekat. Ketika Gen Z mencoba membicarakan beban mereka, tak jarang jawaban yang mereka dapatkan adalah “kamu kurang bersyukur,” atau “jaman dulu lebih susah.” Akibatnya, banyak yang memilih diam dan menumpuk semua tekanan dalam hati.
Identitas yang Terseret Arah Angin
Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, Gen Z juga menghadapi krisis identitas. Siapa mereka, di mana mereka berpijak, dan nilai apa yang mereka pegang, semuanya terus dipertanyakan. “Aku pernah ikut forum internasional secara online, dan waktu ditanya soal budaya Indonesia aku malah bingung jawab apa,” ujar Rizky (21), mahasiswa jurusan hubungan internasional. “Kita tuh tahu semua tentang budaya Korea, Amerika, tapi budaya sendiri malah samar.
Menurut sosiolog Yohana Pratiwi, ini adalah dampak dari globalisasi yang tidak diimbangi dengan penguatan identitas lokal. “Gen Z adalah warga dunia, tapi mereka juga anak bangsa. Sayangnya, pendidikan karakter dan kebudayaan lokal kita belum cukup kuat untuk membekali mereka menghadapi arus budaya asing,” katanya
Mencari Pegangan di Era Tak Pasti
Namun bukan berarti generasi ini lemah. Justru di tengah segala tekanan dan kebingungan itu, Gen Z menunjukkan daya lenting yang luar biasa. Mereka berani bicara soal kesehatan mental, memperjuangkan isu sosial, dan berinovasi dengan teknologi yang mereka kuasai sejak kecil.
Banyak dari mereka yang kini memanfaatkan media sosial bukan sekadar untuk eksistensi, tapi juga untuk edukasi dan advokasi. Gerakan lingkungan, kesetaraan gender, hingga isu-isu lokal kini digaungkan lewat TikTok dan Instagram dengan cara yang lebih membumi dan relatable.
“Aku bikin konten soal pentingnya istirahat dan self-care. Banyak yang bilang relate banget. Kita saling nyemangatin walau cuma lewat layar,” kata Adam (20), content creator asal Jakarta.
Mereka juga mulai mencari keseimbangan hidup lewat mindfulness, komunitas kreatif, hingga gerakan kembali ke alam. Di tengah kegaduhan digital, mereka mencoba menciptakan ruang hening untuk diri sendiri.
“Aku sekarang lebih milih offline kalau weekend. Baca buku, jalan kaki, ngobrol beneran sama orang,” kata Heru. “Nggak gampang, tapi pelan-pelan bisa bikin lebih waras.”
Di akhir wawancara, Heru tersenyum kecil. Hujan mulai turun tipis di luar jendela. Dunia memang sedang gaduh, dan generasi ini tumbuh di tengahnya. Tapi mungkin, justru karena itulah mereka belajar tentang arti keberanian, ketahanan, dan menjadi manusia di zaman yang serba berubah.